Rhodoy R. Ediyansyah

Kamis, 30 Juni 2016

Papua, Daerah Kaya Raya Yang Dibuat Miskin

Selamat datang kembali di blog sederhana ini, kali ini kita akan membahas sosial ekonomi masyarakat Papua. Orang terkaya nomor 8 di China pernah berargumen, “Saya hampa tanpa perusahaan saya.” Atau konglomerat Rusia, “Kami harus terus merasa kekurangan dan terus meningkatkan pemasukan.” Pemikiran-pemikiran orang-orang besar tersebut begitu menggambarkan betapa jauhnya kehidupan mereka dari kemakmuran. Sama dengan di negeri ini, orang yang tidak menggenggam uang katanya lebih baik mati saja. Apa sebegitu berkuasanya kah uang bagi kehidupan manusia? Sampai-sampai tidak pernah dan sulit seseorang puas akan apa yang telah dimilikinya. Seseorang yang merasa selalu kekurangan di setiap waktunya meski dirinya dapat tidur cukup, makan cukup, dan tidak sedang dalam keadaan terancam kehidupannya dapat dikatakan miskin.

Masyarakat Papua
Masyarakat Papua
Di Papua, hanya ketika keadaan benar-benar kritis masyarakat di sana mengganggap nasibnya benar-benar kekurangan. Papua yang berisi kiranya 4,3 jt jiwa, tidak pernah mengaku berkekurangan atau miskin. Jumlah yang sebenarnya kecil dengan wilayah yang teramat besar. Masyarkat Papua hidup serba berkecukupan dimana mereka bisa makan, tidur dan bermasyarakat dengan cukup dan tenteram. Hidup kaya bagi mereka bukan seperti tiap keluarganya memiliki rumah gedongan atau mobil sebagai asetnya. Hidup mewah rakyat Papua adalah dengan masih memeluk sistem adat yang diwariskan para leluhur. Sistem sosial paguyuban tersebut mengikat para masyarakatnya untuk saling memberi kasih serta saling menolong antar sesama. Jika ada salah satu warga yang kekurangan atau memerlukan bantuan, warga yang lain sedia membantu. Seperti gotong royong membangun rumah, memberi makanan, membantu pekerjaan dan lain-lain. Inilah yang membuat orang Papua tidak pernah merasa miskin di tanahnya.

Apakah orang Papua membutuhkan uang?
Orang Papua tidak butuh uang, yang diinginkan oleh masyarakat papua adalah kemudahan akses transportasi dan komunikasi. Mereka lebih membutuhkan ini. Papua punya banyak hasil alam namun tidak bisa menjualnya keluar pulau atau minimal bisa dibawa dengan mudah ke pesisir pantai. Jika ada itikad baik dari perusahaan tambang disana agar masyarakatnya bisa memperoleh akses transportasi yang mudah, pasti akan mudah terwujud. Jika pun pabrik semen berdiri di papua, harga semen akan tetap saja mahal, karena transportasinya harus carter pesawat. Pabrik semen di Manokwari, sewa pesawat ke Merauke Rp 30 juta sekali jalan. Harga semen yang di pabrik Rp 100 ribu, sampai di konsumen bisa Rp 900 ribu.

Apa jadinya bila orang Papua menguasai tanahnya sendiri?
Apabila masyarakat papua berkehendak, tidak perlu perpanjang kontrak karya pertambangan, biarkan mereka bekerja dengan sistem jasa pertambangan dengan bayaran perak dan tembaga, emas menjadi milik rakyat papua dengan cadangan emas terbukti 13 juta ton. Jika itu terjadi maka orang papua akan bingung sendiri karena setiap orang memperoleh 1 ton emas.

Seharusnya papua dibagi dalam 4 atau 5 provinsi administratif, hal ini untuk mempersingkat waktu dan jarak tempuh ke pusat administratif. Bayangkan, dari Merauke ke Jayapura jaraknya 1.350 km itu setara dari Cilegon (Banten) sampai Banyuwangi (Jatim). Itu cuma buat urus izin sekelas Provinsi. Demikian juga dengan sistem transportasinya, Papua lebih cocok dibuat transportasi jalur kereta. Selain lebih murah (Rp 50 milyar/km) juga dapat cepat selesai daripada jalan raya beton (Rp 150 milyar/km).

Kontur tanah yang berbukit menyulitkan pembangunan jalan raya. Lebih mudah dan cepat jika dibuat rel kereta. Kemudian akan muncul pertanyaan, dari mana uang untuk membangun?

Total panjang kereta penghubung papua sepanjang 10.000 km dengan biaya Rp 500 trilyun, dibangun dalam 10 tahun dengan target 1000 km tiap tahunnya. Uang yang digunakan berasal dari penjualan emas yang proses penambangannya dibuat dengan sistem lelang kerja dan membayarnya kontraktor, pajak, royalty, dll. Dengan hasil penjualan perak dan tembaga, pertahun diperlukan Rp 50 trilyun untuk bangun 1000 km rel kereta itu setara 120 ton emas.

Apakah sebaiknya Papua lepas dari Indonesia?
Merdeka atau lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia itu bukan jawaban. Lihat timor leste, mereka keluar dari NKRI, kemudian terjebak dalam belenggu Australia. Solusi terbaik adalah kesepakatan dewan adat untuk menghentikan kontrak pertambangan dan sudah saatnya tambang emas dikelola sendiri. Mereka akan ketakutan jika kontrak pertambangan dihentikan dan akan mencoba berbagai cara untuk mempertahankan itu.

Orang Papua memang tidak merasa kekurangan selagi kehidupan mereka tidak di bawah penindasan dan ancaman. Tapi, jika segala yang dimiliki mereka diambil bukan untuk kebaikan orang Papua jelas sekali mereka pantas menentang. Tidak ada kata miskin di sana, karena sumber daya alam yang bak surga tidak mungkin membuat mereka kekurangan. Tapi tidak sepantasnya mereka dirugikan dengan dikeruk habis kepunyaan yang seharusnya untuk kehidupan orang-orang di sana. Mereka tidak merasa kekurangan atau miskin, tapi jangan membuat mereka miskin dengan terus menerus memanfaatkannya.

Yang terahir saya minta kritik dan saran yang sifatnya membangun tulisan saya kedepannya. Jika anda seorang blogger yang belum berteman dengan rhodoy.com silahkan follow disini-> http://goo.gl/nZmkXk

1 komentar:

Ingat boss sebelum berkomentar, baca ini dulu
1. Komentar yang relevan dengan tulisan
2. Dilarang live link, komentar yang terdapat link aktif report SPAM, link non aktif tidak akan dikunjungi balik.
3. Dilarang promosi dalam bentuk apapun
4. Dilarang berkomentar SARA, Po*n, J*di, dll
5. Apabila melanggar dihapus dan dilaporkan sebagai SPAM ke Google
6. Tidak perlu nulis link di komentar, yang sudah komentar akan saya kunjungi balik lewat profi google anda.
7. Komentar yang hanya seadanya seperti "Mantab Gan", "Nice Info", dll tidak akan dikunjungi balik.