(Anak Jalanan Perempuan Yang Dilacurkan)
Oleh: Yuliati Umrah (Direktur Eksekutif ALIT)
Dari jumlah
anak jalanan yang telah teridentifikasi (sekitar 5 ribu lebih), 10% di
antaranya adalah anak perempuan.
Beberapa pengalaman yang ada menyebutkan bahwa
resiko bahaya yang dialami oleh anak-anak jalanan perempuan ini ternyata lebih
berat dan memerlukan perhatian khusus, seperti yang diungkapkan oleh Desti Murdijana (1998), tidak jarang
anak jalanan perempuan yang terlanjur hamil harus menyabung nyawa karena mereka
memilih menyelesaikannya dengan cara aborsi yang jauh dari kelayakan medis dan
cenderung mengabaikan keselamatan jiwa mereka. Pada situasi tertentu anak
jalanan perempuanpun juga rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan
HIV/AIDS ataupun penyakit menular lainnya seperti Hepatitis C, TBC dsb. Mengapa
?
Pengalaman
selama pendampingan di terminal Joyoboyo (1995) di seputar trem gang Kelinci,
Novi (16th) mengatakan bahwa siang hari dia bersama beberapa teman perempuannya
bekerja di dalam bis-bis kota jurusan Bungurasih-Perak mulai pagi sampai pukul
tiga sore, sedang malam harinya Novi dan teman-temannya harus menjadi
pelacur-pelacur cilik yang khusus melayani orang-orang seputar Joyoboyo,
biasanya sopir bemo, kenek, tukang becak dan preman setempat. Dengan uang
setoran perhari 35.000, Novi dan teman-temannya hanya mendapatkan uang 5.000
rupiah saja. Setoran itu dikelola oleh preman Joyoboyo. Pengalaman seperti Novi
dan teman-temannya di Joyoboyo juga dialami oleh anak-anak perempuan di
sepanjang rel KA sekitar Jagir Wonokromo. Dengan tarif 3.500 sekali main
anak-anak dipaksa melakukan pekerjaan itu baik oleh ibu mereka, semang maupun
teman sebaya mereka.
Ancaman fisik
sering dialami oleh mereka, misalnya bila setoran kurang tak jarang pendamping
menemuinya dengan lebam-lebam biru di tubuh mereka, selain itu perlakuan
pelanggan yang tak layak yakni dengan membawa mereka ke sekadar tempat yang
sepi yang agak jauh dari lokasi mereka mangkal dan ditinggalkan begitu saja
setelah dipakai tanpa uang pesangon apa-apa.
Pengalaman
lain menyebutkan bahwa anak-anak jalanan perempuan di pusat kota juga mengalami
hal serupa dengan tingkat bahaya yang lebih tinggi. Mereka adalah kaum ABG,
dengan usia rata-rata 14-18 tahun. Keberadaan mereka di jalanan kelihatannya
berbeda dengan anak jalanan umumnya. Tidak lusuh, tidak kotor dan tidak pula
nampak penyakitan. Justru yang nampak adalah sebaliknya, menarik, cantik dan
pandai bergaul. Namun kenyataannya mereka adalah anak-anak perempuan yang
sangat tergantung pada obat-obat terlarang (naza) misalnya Ineks, shabu-shabu,
putauw (heroin) dan extacy. Selain itu dengan minuman keras dan ganja menjadi
santapan sehari-hari mereka. Untuk memenuhi kebutuhan fashionable mereka
(sepatu, baju, tas, make up) dan naza tersebut mereka terpaksa bekerja sebagai
pelacur jalanan.
Surabaya,
dimana yayasan ALIT tengah melakukan pendampingan dan identifikasi terhadap
mereka, ternyata saat ini menjadi tempat yang semakin marak dengan bursa seks
remaja yang keberadaannya semakin terbuka dan tanpa malu-malu. Setiap sudut di
pusat kota, di malam hari terlihat marak para ABG nya di pinggir jalan. Dengan
dandanan yang lebih mirip penyanyi dan tawa renyah mereka dengan beberapa
teman, mereka menuggu om yang akan menjemputnya dan membawanya ke hotel
tertentu. Dengan tarif yang lebih mahal daripada tarif di lokalisasi (minimal
150 ribu dibanding 50 ribu per short time), semakin memunculkan anggapan bahwa
memakai seks ABG jalanan kesannya lebih bersih dan lebih berkelas. Dari kesan
ini pula semakin meramaikan bisnis seks ABG karena kenyataan para konsumen
adalah orang-orang dengan koceknya yang tidak sedikit.
Beberapa
faktor penyebab mengapa mereka
terjerumus dalam dunia pelacuran di jalanan. Majalah TOP bulan Juni kemarin
menyebutkan 28 dari 30 anak yang telah teridentifikasi menyebutkan kekerasan di
rumah yang kerap mereka rasakan dan rata-rata dari keluarga miskin (15 di
antaranya). Sedangkan kondisi keluarga yang miskin cenderung tidak gampang
menuruti kebutuhan mereka seperti yang mereka lihat di majalah, tivi dan
ataupun info teman sekelas. Kebutuhan yang lebih ke arah konsumerisme.
tersebut didukung oleh pola sistem makna
kota dimana mereka tinggal di kota besar
seperti Surabaya yang memberikan impian remaja dengan gaya, trend dan
kenikmatan modernisasi.
Alasan itu
yang membuat mereka lari dari rumah dan terperosok dalam dunia obat, sebab
tempat pelarian para ABG ini biasanya adalah di pusat keramaian seperti
Diskotik dan Mall, dan disinyalir bahwa tempat ini memang sudah lebih dahulu
ada sekelompok pemuda tampan dan berduit yang menerima dengan tangan terbuka
keberadaan mereka. Jawaban kesumpekan mereka adalah mengisap ganja bersama,
minum bersama dan akhirnya pada obat yang lebih berat. Kondisi kecanduan ini menarik
anak-anak perempuan ini untuk patuh demi kebutuhan dan perlindungan yang
diharapkan dengan dilacurkan kepada om-om yang memang biasa mampir ke tempat
biasa mereka mangkal. Tempat tinggal mereka cenderung tidak tetap, kalau rame
job mereka bisa tidur di hotel dengan om yang mengencani, atau kost secara
patungan dengan sesama teman, dan kalau tidak ada job (misalnya sakit,
halangan) mereka bahkan tidur di emper diskotik, mall dan bioskop.
Beberapa
kondisi buruk dialami oleh mereka, misalnya biasanya sebagai pendatang baru
seperti yang dialami Rini (16 th) asal Batam, ketika pertama kali minggat
langsung ke Delta Plasa tempat berkumpulnya pemuda tampan dan menurutnya adalah
teman-teman yang mengerti masalahnya. Dengan dalih perlindungan, kasih sayang dan
persaudaraan Rini akhirnya diperawani oleh salah satu pemuda dalam kelompok
Delta Plasa, sampai hampir akhirnya semua pemuda di kumpulan itu pernah mencoba
tubuhnya. Sampai saat ini setelah peristiwa itu berlalu Rini telah menjadi
bagian penjaja seks di jalanan bersama anak-anak perempuan yang lain. Peristiwa
seperti Rini ternyata juga dialami oleh anak-anak perempuan yang baru hadir
baik di Diskotik-diskotik maupun mall lainnya. Akibatnya dari peristiwa itu
anak-anak perempuan yang dijajakan menjadi bagian dari kebutuhan obat terlarang
yang keberadaannya dikendalikan oleh sekelompok pemuda tadi.
Terdapat beberapa variasi kondisi
yang dialami oleh anak-anak dilacurkan yang telah terjangkau oleh tim DIC ini.
Beberapa diantara adalah faktor ekonomi, tekanan keluarga dan kekerasan/
penyalahgunaan seks.
Hampir semua
anak dampingan tim kami, pada awalnya sebelum terlbat dalam dunia pelacuran
adalah terlibat dengan NAZA. Obat buat mereka adalah teman yang dapat menghibur
kesedihan hati mereka, kesakitan tubuh mereka dan dapat melupakan persoalan
berat yang mereka alami. Dari beberapa kasus menunjukkan bahwa anak-anak
mengalamai tekanan di dalam rumah yakni:
- Tekanan ekonomi, orangtua memaksa anaknya untuk menghidupi sendiri dan memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
- Tekanan psikologis, beberapa mengalami stres karena kurang kasih sayang, diacuhkan orang tua dan merasa orang tua mereka terlalu banyak aturan yang menekan perasaan mereka sama sekali tidak ada kebebasan).
- Kekerasan fisik, kebanyakan dilakukan oleh bapak mereka ketika anak melakukan pelanggaran terhadap aturan rumah.
- Penyalahgunaan seksual, dialamai oleh salah seorang anak dampingan yang dilakukan oleh kakak kandung sendiri.
- Sedangkan tekanan dari luar yang mendukung mereka ketika mendapatkan tekanan dalam rumah adalah:
- Pengaruh teman-teman sekolah yang mulai mengenalkannya dengan diskotik
- Pengaruh teman-teman kerja (pabrik, pub, billyard) yang mengenalkan pada kerja tambahan untuk mendapatkan uang lebih dengan menemani para tamu untuk minum atau ngedrug.
- Hubungan sex pra nikah dengan pacar kemudian putus.
- Dijebak baik oleh teman sendiri atau germo yang mengaku sebagai sahabat baru bagi mereka untuk memakai salah satu jenis drug, kemudian merasa enjoy dan addic kemudian mereka terpaksa melacur untuk bisa mendapatkan drug.
A. Kondisi dan Masalah yang Terjadi Dengan
Anak Dalam Bekerja
Beberapa
kejadian yang memprihatinkan terjadi selama mereka bekerja di jalanan sebagai
pelacur. Kejadian pelecehan, kekerasan, sakau, over dosis, penggrebekan bahkan
penipuan oleh para tamu juga terjadi.
Pelecehan
seksual seringkali dilakukan oleh para oknum polisi, ketika penggrebekan
berlangsung mereka tidak diinterograsi malahan diminta untuk ngeskx gratis dan
kalau tidak mereka diancam akan ditembak atau dibuang ke rumah tahanan
perempuan. Kalau tidak mereka juga di rayu, dipegang-pegang buah dadanya dan
terkadang para polisi juga minta drug yang biasa dipakai ayla untuk dipakai
bersama. Beberapa diantaranya tidak diterima kembali oleh keluarga , karena
kelurga terutama adik-adik mereka juga mendapatkan hinaan di kampung mereka
tinggal. Hal ini terjadi ketikas penggrebekan berlangsung dan melibatkan para
wartawan. Tentu saja berita mengenai hal ini muncul di koran harian, sekaligus
wajah dan nama mereka. Sangat tidak etis memang namun ini benar-benar terjadi.
Pemukulan,
pemaksaan dan penusukan terjadi apabila anak-anak dirasa melanggar peraturan
jalanan, misalnya menerima tamu tanpa germo, pindah germo tanpa perjanjian dan
kadang-kadang dilakukan oleh pacar sekaligus merangkap germo (bojo-bojo an)
apabila sang pacar cemburu, melanggar jam booking, setoran kurang.
Puncak
kemarahan, ketakutan dan kefrustasian ayla sering kami temukan ketika mereka
overdosis. Tidak mau ditolong, mencercau ingin mati. Biasanya dengan sabar dan
tenang para kakak pendamping membantu menenangkan mereka sehingga mereka mau
minum penawar misalnya susu, air kelapa muda hijau sampai muntah. Setelah itu
mereka menumpahkan segala permasalahan mereka dan menangis habis-habisan.
B. Keterlibatan Anak Dengan Naza
Hampir semua
anak dampingan tim DIC adalah pengguna aktif naza. Mulai dari bentuk oral
sampai injection sudah mereka lakukan. Drug buat mereka adalah alat pergaualan,
dengan pergaulan tersebut anak-anak merasa dilindungi, disayang dan dicintai.
Padahal kenyataannya kaum lelaki yang menjadi kelompok supplier sekaligus
pengguna ini semakin menjebak mereka untuk tetap hidup di dunia obat dan
otomatis untuk mendapatkannya harus bekerja berat dan menghasilkan banyak uang
untuk mendapatkan obat yang mereka inginkan, apalagi kalau bukan melacur.
Obat biasa
mereka pakai "acara" bersama tamu yang membooking (mereka bisa dapat
gratis) dan acara bareng teman gaul mereka bersama-sama. Yang dipakai giliran
adalah ganja, sabu-sabu, putaw dengan bertukar jarum suntik, pil koplo yang
dicampur dengan sprite, vodka dsb.
Selama ini
belum satupun dari anak-anak melakukan pengobatan atas ketergantungan terhadap
obat. Tim hanya membantu mereka melakukan konseling kelompok ketika mereka
sedang tenang, beberapa kali dilakukan konseling kelompok ini ternyata efektif
membantu psikologis mereka dan mengurangi frekuensi pemakain drug.
Dari
pengalaman selama pendampingan sebelumnya, ternyata diantara mereka mengalami
ketakutan dari ancaman kelompok yang telah menerima mereka, malu dengan
masyarakat dimana ia tinggal sebelumnya dan perasaan frustasi serta marah
dengan orangtua mereka, sehingga sangat tidak mudah untuk mengajak mereka
sesekali tidak mengkonsumsi obat terlarang. Perasaan marah dan frustasi
menyebabkan mereka cenderung berbuat nekat dan semau gue. Belum lagi persoalan
tindakan aparat keamanan yang seringkali justru semakin memperburuk kondisi
mereka. Seminggu dua kali lokasi mereka berkumpul digaruk (cakupan) oleh
patroli keamanan. Sewaktu di interogasi, yang terjadi bukanlah introgasi yang
sebenarnya tetapi kencan gratis dengan sedikit ancaman tidak dikeluarkan esok
harinya dari sel bila si anak menolak dikencani. Akhirnya slogan apapun tentang
pembinaan oleh aparat cenderung amat diabaikan oleh anak-anak tersebut.
Sampai saat
ini keberadaan anak-anak perempuan yang dilacurkan semakin tumbuh pesat
bersamaan dengan menjangkitnya jenis naza yang makin mudah mereka peroleh dari
lokasi mereka biasa mangkal (diskotik,mall dan tempat-tempat hiburan malam).
Melihat latar
belakang di atas kita memandang perlu adanya penanganan khusus untuk anak-anak
perempuan yang dilacurkan tersebut, dan tidak bisa disatukan dengan anak
jalanan lainnya mengingat persoalan mereka yang lebih kompleks dan khusus.
Penanganan khusus tersebut untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul
dari peristiwa anak yang dilacurkan tersebut seperti terlanggarnya hak
perlindungannya, hak tumbuh kembanganya, hak partisipatifnya bahkan hak
kelangsungan hidupnya karena ancaman bahaya PMS - HIV/AIDS dan Penyakit menular
lainnya menjadi momok yang setiap saat akan mendatangi mereka.
Melihat beberapa persoalan berat yang muncul dari
pekerjaan mereka tentu saja kita tidak bisa saling menuding siapa mempekerjakan
siapa dan siapa dipekerjakan siapa kalau ini menjadi titik masalah pekerja
anak. Di sektor informal lainnya seperti para pemulung dan anak jalanan kita
tentu tidak akan menemukan siapa mempekerjakan siapa. Ini bukan berarti terus
berhenti ketika kita tidak mampu menemukan siapa mempekerjakan siapa, tetapi harus
lebih dalam memahami akar persoalan yang muncul dari sebab usabab kenapa mereka
menjadi dilacurkan. Secara sistemik ini tentu saja menjadi tanggung jawab kita
semua. Akan terlalu naif apabila hanya berangkat pada tataran formal tetapi
tidak dalam ketika melihat proses "pemelacuran" anak-anak tersebut,
baik dalam segi ekonomi, sosial dan budaya sekalipun (kenyataan yang muncul
bahwa budaya justru memperkuat stigma buruk terhadap anak-anak tersebut).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ingat boss sebelum berkomentar, baca ini dulu
1. Komentar yang relevan dengan tulisan
2. Dilarang live link, komentar yang terdapat link aktif report SPAM, link non aktif tidak akan dikunjungi balik.
3. Dilarang promosi dalam bentuk apapun
4. Dilarang berkomentar SARA, Po*n, J*di, dll
5. Apabila melanggar dihapus dan dilaporkan sebagai SPAM ke Google
6. Tidak perlu nulis link di komentar, yang sudah komentar akan saya kunjungi balik lewat profi google anda.
7. Komentar yang hanya seadanya seperti "Mantab Gan", "Nice Info", dll tidak akan dikunjungi balik.